Minggu, 30 Oktober 2016

Banjarmasin berada di pulau Kalimantan yang yang secara geologis dibentuk oleh endapan alluvial dari sungai Barito dan sungai Martapura. Kota Banjarmasin  berjarak sekitar 23 km dari pantai dan berada di dataran rendah pada elevasi rata-rata minus 16 cm di bawah permukaan laut, serta  dipengaruhi oleh pasang naik dan pasang surut (pasut) air laut.  Bentang alam kota yang relatif landai ini menyebabkan terbentuknya kawasan lahan basah berupa rawa yaitu rawa pasang surut dan terdapat ratusan saluran air baik alami dan buatan berupa sungai dan terusan (kanal). 

Dalam pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Pasang Surut dan Lebak tahun 1992 di Cisarua, Bogor istilah lahan rawa dibedakan menjadi dua, yaitu rawa pasang surut (tidal swamps) dan rawa lebak atau rawa pedalaman (nontidal swamps). Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 64/PRT/1993 menyatakan rawa dibagi dalam tiga kategori, yaitu (10 rawa pasang surut, (2) rawa pantai, dan (3) rawa pedalaman atau rawa lebak. Lahan rawa pasang surut umumnya mempunyai topografi datar dan pengaruh luapan pasang surut air laut yang lebih atau sama kuat dengan luapan air sungai, yang bersifat tetap menurut peredaran bulan (Noor, 2007)
 
Dalam membangun sebuah rumah, pondasi merupakan hal yang utama. Terlebih membangun di rumah di Banjarmasin yang tanahnya adalah tanah rawa dan tidak padat seperti di Jawa dan Banjarbaru tentunya.
Berdasarkan dari definisinyapondasi adalah bagian dari bangunan yang letaknya paling bawah yang berfungsi meneruskan beban di atasnya kepada tanah yang dipijaknya. Karena pondasi berhubungan langsung dengan tanah, maka pemilihan pondasi akan sangat dipengaruhi kondisi tanah  pada daerah tersebut.
Pondasi pada rumah tradisional merupakan wujud fisik kebudayaan masyarakat yang hidup di lingkungan lahan (rawa). Hal ini merupakan kearifan lokal untuk mengatasi permasalahan setempat. Untuk menahan beratnya beban bangunan dan menyalurkan gaya berat ke bumi, digunakan system pondasi batang (log). Sistem pondasi ini menggunakan batang kayu Kapur Naga yang diletakkan sebagai bantalan. Sifat balok kayu yang mampumengapungkanbangunan menjadikannya sangat fungsional. Sedangkan kekuatan dan keawetan kayu secara alamiah terbentuk dari proses alami pengawetan dengan membenamkan kayu ke lumpur/rawa (gambar 9).
Untuk struktur yang lebih ringan, menggunakan konstruksi kacapuri, yakni dengan kayu galam yang disusun melintang disepanjang bentang bangunan. Prinsipnya sama dengan system pondasi batang kayu kapur naga (gambar 10)
Karena perkembangan teknologi struktur sekarang ini dan sulitnya untuk mendapatkan batang (log) serta kayu galam yang berdiameter lebih dari 15 cm, maka struktur panggung menggunakan pancangan kayu galam